SHARE

Ilustrasi -warga sedang melakukan tes antigen (istimewa)

“Kalau wabah di suatu satu negara mau jadi endemi, maka surveilansnya harus bagus,” ujar Yunis.

Sementara saat ini, diketahui bahwa kapasitas surveilans masih belum merata di masing-masing daerah baik di provinsi, kabupaten, kota dan kecamatan di Indonesia. Bahkan surveilans untuk skala desa juga diharapkan memadai untuk melihat kurva kasus dan apakah COVID-19 di desa bergerak menjadi endemis.

Tentu, itu menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan dan memperkuat kapasitas surveilans tiap daerah sehingga bisa menangkap kasus dan gambaran penularan yang terjadi di daerah itu dengan baik agar kurva harian juga menjadi baik dan komprehensif.

Berdasarkan standar WHO, kapasitas surveilans yang memadai adalah mampu melakukan pengujian 1 orang per 1.000 penduduk per pekan atau per hari, dan pelacakan kontak untuk satu kasus COVID-19 adalah 20-30 orang. Sementara pelacakan kontak di Indonesia saat ini masih delapan orang untuk satu kasus COVID-19. Oleh karena itu, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sarana dan prasarana harus ditingkatkan untuk penguatan surveilans di Tanah Air.

Tetap bisa menyerang

Sementara untuk mencegah lonjakan kasus COVID-19, menekan kasus sampai batas minimum dan mencegah kasus baru dalam rangka menjadikan wabah COVID-19 sebagai endemi, menurut epidemiolog dari Universitas Andalas Sumatera Barat Defriman Djafri, ada tiga kunci utama, yakni protokol kesehatan (prokes), vaksinasi COVID-19, dan 3T (pengujian, pelacakan kontak dan perawatan). Ketiga kunci pencegahan itu harus dilakukan secara simultan dan diperkuat.

Hingga saat ini, tidak ada satu pun kunci tunggal yang secara 100 persen bisa mencegah infeksi COVID-19. Semua strategi kunci itu bersifat menyeluruh, saling melengkapi dan saling berkaitan.

Tanpa protokol kesehatan yang ketat, meskipun vaksinasi digencarkan, maka virus COVID-19 tetap bisa menyerang dan menyebabkan angka kesakitan dan kematian.

Halaman :