SHARE

carapandang.com

CARAPANDANG.COM - Baru saja kita melewati tahun 2018 dan memasuki tahun 2019. Awal tahun ini jadi momen tepat merenungkan peristiwa alam yang terjadi belakangan di Lombok, Palu-Donggala, dan Banten-Lampung berupa gempa bumi, likuifaksi, letusan gunung api, dan tsunami.

Peristiwa tersebut menelan korban jiwa ratusan bahkan ribuan orang. Korban Lombok paling tidak tercatat 563 orang; Palu-Donggala, 2.113 orang; dan Banten-Lampung, 283 orang.

Angka itu belum termasuk ribuan orang yang terluka dan mengungsi karena kehilangan tempat tinggal.

Selalu muncul pertanyaan klasik setiap terjadi peristiwa yang merengut korban jiwa. Apakah gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami adalah bencana? Lalu apa sebenarnya bencana? Secara sederhana bagi yang pernah mengenyam bangku sekolah menengah tentu paham gempa adalah getaran bumi karena gerakan lempeng bumi maupun letusan gunung api, sementara likuifaksi merupakan pencairan tanah yang jenuh air, dan terakhir tsunami adalah gelombang besar.

Dari ketiga peristiwa tersebut hanya likuifaksi yang tergolong istilah baru bagi kebanyakan.

Di sekolah menengah dipahami bahwa serangkaian peristiwa tersebut adalah fenomena alam atau perilaku alam.

Dengan demikian sesungguhnya gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami merupakan peristiwa netral belaka. Ia telah terjadi berulang-ulang kali sejak planet bumi menjadi bagian dari alam semesta ini 4,56 miliar tahun silam.

Dalam ilmu geologi gempa bumi dan letusan gunung api merupakan gaya endogen, sementara gelombang air laut, termasuk tsunami, merupakan gaya eksogen yang bertanggung jawab memahat bentuk muka bumi: pegunungan, perbukitan, tebing, cekungan, danau, dan dataran.

Mahasiswa ilmu kebumian, seperti geologi, geografi, atau ilmu tanah belajar memahami dampak positif dan dampak negatif dari setiap fenomena alam tersebut.

Peristiwa alam itu menjadi bencana yang berkonotasi negatif ketika menimpa manusia: mahluk Tuhan pendatang baru di planet bumi. Manusia baru mendiami bumi sekitar 10 ribu tahun lalu.

Menurut Awang Harun Satyana, ahli geologi dan geofisika, manusia adalah para pendatang yang selayaknya bertindak sopan sebagai tamu.

Manusia boleh memanfaatkan planet bumi tetapi mesti menyesuaikan diri dengan hukum-hukum bumi.

Tentu dengan terlebih dahulu mengenali watak atau perilaku bumi. Pada konteks inilah sains atau ilmu pengetahuan menjadi penting sebagai alat untuk mengenali watak bumi.

Secara filosofis sebetulnya bencana itu tidak ada. Bencana dalam Bahasa Inggris disebut sebagai catastrophe yang sebetulnya bersifat netral.

Dalam Ilmu Geologi catastrophism bahkan menjadi salah satu teori klasik yang menyatakan perubahan kerak bumi selama sejarah geologis yang terjadi karena peristiwa besar, tiba-tiba, dan tidak biasa.

Sebut saja letusan gunung atau gempa maha dahsyat, bahkan tumbukan bumi oleh benda langit yang dapat menyebabkan kepunahan sebuah spesies yang kemudian digantikan spesies lain.

Dalam perspektif lain, menurut Dr. Abdul Aziz Abbasy, pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, bencana adalah ketiadaan hidup, ketiadaan kesempurnaan, ketiadaan kebahagiaan, ketiadaan kebaikan. Yang ada adalah hidup, kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebaikan.

Ilustrasi yang sederhana ialah kegelapan yang sebetulnya tidak ada. Kegelapan adalah ketiadaan hadirnya terang atau ketiadaan hadirnya cahaya. Yang ada sesungguhnya cahaya.

Demikian pula istilah lain yang menjadi sinonim bencana adalah musibah.

Kata musibah berasal dari Bahasa Arab ashaba yang menurut kamus almaani berarti mengenai dan menimpa yang bisa bermakna positif maupun negatif. Sementara menurut Abdul Aziz Abbasy, musibah adalah peristiwa.

Dengan demikian musibah bersifat netral karena dapat berupa peristiwa baik maupun peristiwa buruk tergantung bagaimana cara manusia memandangnya.

Persis seperti hujan yang menjadi kebaikan bagi ojeg payung, produsen jas, dan produsen cat anti air, tetapi menjadi keburukan bagi tukang es, pembuat kerupuk, dan pemborong bangunan.

Kembali pada peristiwa alam, sesungguhnya menurut sains, adalah fenomena alam biasa yang netral.

Sementara menurut sebagian filsuf Islam, segala sesuatu yang ada yang berasal dari Tuhan sesungguhnya adalah kebaikan. Gempa, likuifaksi, tsunami, letusan gunung api sebetulnya juga suatu kebaikan.

Penulis ingin menyebut contoh kehadiran gunung berapi sebetulnya sebuah rahmat bagi sebuah wilayah.

Letusan gunung api memuntahkan material kaya mineral yang menjadi nutrisi pemasok kesuburan tanah.

Letusan berulang kali menyebabkan tanah selalu mengalami peremajaan sehingga mampu menopang kehidupan manusia melalui hasil bumi yang dipanen.

Itulah sebabnya sejak dulu para ahli tanah meyakini terdapat hubungan erat antara aktivitas gunung berapi dengan kesuburan tanah lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk di pulau-pulau utama di Indonesia.

Pulau Jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia dengan populasi mencapai 60 petsen penduduknya meskipun hanya pulau terbesar ke-5 setelah Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Papua dan Kalimantan yang lebih luas kurang diminati masyarakat agraris karena tanahnya kurang subur akibat minim gunung api.

Demikian pula letusan-letusan kecil gunung berapi sesungguhnya bermanfaat untuk melepaskan tekanan bumi secara bertahap. Bila tak dilepaskan secara bertahap dapat menyebabkan letusan yang maha dahsyat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kedukaan dan kesedihan akibat perilaku alam yang menimpa manusia dapat dirasakan.

Dengan demikian yang dapat dilakukan manusia adalah mengubah pandangan kita terhadap gempa, tsunami, serta letusan gunung api yang semula negatif (bencana, keburukan) menjadi positif (rahmat, kebaikan) sebagai sebuah ketetapan Tuhan dengan memberlakukan hukum alam.

Manusia diperintahkan mengenali alam dan menghindar dari musibah yang membahayakan sekaligus juga diperintah menerima ketetapan Tuhan dengan memandangnya sebagai kebaikan.

Dengan demikian setiap musibah, menurut Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdatul Ulama Australia-New Zealand, sesungguhnya ditujukan bagi kita yang selamat untuk introspeksi diri alias perenungan, bukan ditujukan untuk menuding orang lain yang tertimpa dampak fenomena alam tanpa rasa empati sama sekali.

Mereka yang wafat boleh jadi lebih beruntung dari yang hidup karena yang meninggal telah kembali bersama Tuhan dalam kedamaian dengan meninggalkan segala kemelekatan duniawi.

Singkatnya musibah baik sebagai ujian, peringatan, maupun azab ditujukan bagi kita yang selamat agar dapat mengagungkan kebesaran Tuhan dengan semakin mengenali perilaku alam.

Pada konteks sains kita semua dituntut melakukan mitigasi bencana seperti membuat sistem deteksi bencana, mengubah lokasi rawan bencana rawan likuifaksi maupun rawan tsunami sebagai ruang hijau dan sabuk hijau, menerapkan standar bangunan yang toleran terhadap bencana, serta menerapkan pendidikan tanggap bencana. Selamat tahun baru 2019. (ANTARA|Destika Cahyana SP MSc) 

Tags
SHARE