SHARE

Istimewa

CARAPANDANG.COM - Pemerintah terus mendorong DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi Undang-Undang.

"Kami juga berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) untuk menindaklanjuti percepatan pengesahan RUU PKS di DPR," kata Tenaga Ahli Utama Kedeputian II KSP Brian Sriprahastuti dalam KSP Mendengar bersama organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi kepemudaan, dan unsur lembaga sipil lainnya, di Kota Banda Aceh, sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Senin.

RUU PKS telah diusulkan kepada DPR sejak 2016. Namun pembahasan RUU tersebut masih mengambang di parlemen. Siaran pers KSP menyebut masih terdapat pergulatan suara dan kekuatan yang tidak seimbang di DPR terkait RUU PKS.

Agar RUU PKS di DPR dapat segera diundangkan, KSP menginisiasi pembentukan gugus tugas lintas kementerian/lembaga untuk percepatan pengesahan RUU PKS. "Gugus tugas ini beranggotakan KSP, Kemenkumham Kementerian PPPA, Kejagung, dan Polri. Tugasnya mengawal kinerja politik, aspek substansi, dan komunikasi media," kata Brian.

Menurut siaran pers KSP, dalam KSP Mendengar, aktivis perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman menyampaikan selama ini terjadi dualisme hukum di Aceh, yakni antara Qonun Jinayat dan hukum positif Indonesia. Dalam kasus putusan kekerasan seksual pada anak, kata Suraiya, dualisme hukum tersebut menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap korban.

"Harapan pada KSP untuk memastikan semua kebijakan diskriminatif di Aceh dihapus. Harus ada sinkronisasi regulasi dan kebijakan pusat dan daerah” kata Suraiya.

Suraiya mencotohkan masih ada vonis bebas terhadap pelaku kekerasan anak oleh Mahkamah Syariah di Aceh Besar. Padahal, menurut dia, berdasarkan statistik, setiap hari ada satu atau dua anak dan perempuan yang menjadi korban.

Anggota Presidium Balai Syura Ureng Inong Aceh itu menyayangkan rendahnya kualitas pelayanan pemerintah daerah (pemda) terhadap korban kekerasan seksual. "Pelayanan yang baik hanya ada di Pemerintah Provinsi Aceh dan Kota Banda Aceh. Regulasi yang dibuat pemerintah kabupaten dan pemerintah kota mayoritas diskriminatif terhadap perempuan," ujar Suraiya.
 

Tags
SHARE