SHARE

Ilustrasi

CARAPANDANG - Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam meminta ada pengawasan dan penegakan hukum pada distribusi minyak goreng, menyusul kebijakan baru penetapan minyak goreng curah sebesar Rp14.000 liter dengan mekanisme subsidi melalui BPDP-KS.

"Jadi harus benar-benar ada pengawasan dan penegakan hukum agar potensi-potensi penyimpangan bisa ditangkal," kata Mufti kepada media di Surabaya, Rabu (16/3/2022).

Politisi dari PDI Perjuangan ini menilai kebijakan baru dari pemerintah itu menunjukkan bahwa selama ini regulasi dari Kementerian Perdagangan terbukti tidak berhasil di lapangan.

“Berbagai revisi kebijakan Kemendag ibarat 'macan ompong', karena minyak goreng mahal dan langka sehingga muncul kebijakan baru ini. Hal pertama yang harus digarisbawahi adalah tidak optimalnya Kemendag dalam merumuskan kebijakan sehingga dalam hitungan pekan, kebijakan sudah berganti-ganti," katanya, mengkritisi.

Oleh karena itu, kata dia, mekanisme baru dengan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang diumumkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Selasa (15/3) itu harus dikawal untuk memastikan minyak goreng curah tersedia di pasar.

Selama ini, kata dia, minyak goreng curah masih langka di pasar sehingga menyulitkan usaha mikro, kecil, dan rumah tangga miskin.

“Adanya selisih signifikan antara HET (harga eceran tertinggi) curah dan kemasan berpotensi menimbulkan moral hazard oleh pelaku usaha tertentu. Ada potensi penyimpangan distribusi dan alokasi minyak curah. Ujungnya masyarakat kurang mampu yang dirugikan karena minyak goreng curah akan berpotensi langka," katanya.

Mufti mengakui bahwa kebijakan baru itu bakal menghadapi banyak tantangan yang berpotensi menimbulkan dampak kurang baik pada dua hal. Pertama, harga minyak goreng kemasan terbang tinggi yang merugikan konsumen segmen menengah. Kedua, minyak goreng curah bisa tetap langka sehingga merugikan rakyat kecil.

"Untuk minyak goreng kemasan, harganya bisa melambung tak karuan. Bisa tembus di atas Rp25.000 per liter. Untuk konsumen menengah berpotensi terdampak, meski yang kelompok atas mungkin tidak terasa dengan harga yang mahal,” ujar Mufti.

Mufti menegaskan apabila tidak diiringi pengawasan dan penegakan hukum bisa terwujud kartel harga ugal-ugalan atas nama harga CPO mahal yang kemudian membuat perekonomian tidak efisien.