SHARE

Nafik Muthohirin | Dosen FAI-UMM; Direktur Program RBC Institute A. Malik Fadjar

CARAPANDANG.COM - Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan karamah. Seluruh amal kebaikan yang dikerjakan di bulan ini niscaya dilipatgandakan pahalanya. Tak heran, jika umat Islam mulai berlomba meningkatkan ibadahnya. Namun, hal yang demikian menjadi sebatas ritual tahunan karena usai Ramadan hilang, amalan kebaikan itu tidak dikerjakan secara berlanjut. 

Islam sebagai sebuah agama menjadi ironi bila difahami sebatas identitas simbolik. Pemeluknya pun akan terjebak pada pemaknaan yang sempit karena keberagamaan hanya diartikan penghambaan antara manusia dengan Tuhan-Nya saja. Begitu pun dengan puasa, ibadah ini tidak hanya sebatas menahan lapar dan haus saja. Lebih dari itu, puasa harus bisa dimaknai secara lebih luas sebagai misi transformasi sosial.

Berubahnya fenomena keagamaan selalu diiringi dengan perubahan fenomena sosial pula. Tidak terkecuali pada bulan suci seperti sekarang, seluruh aktivitas sosial dibingkai apik dengan segala format keagamaan. Begitu pula dengan peran media, seolah turut memarakkannya. Nampak tayangan televisi menyuguhkan berbagai acara hiburan yang dibalut dengan nilai keagamaan mulai sahur, berbuka, bahkan sampai sahur kembali. Acara televisi diformat begitu rupa dengan aneka ceramah, sinetron agama, bahkan iklan pun dibungkus dengan nilai-nilai ketuhanan.

Ironisnya, meningkatnya fenomena keagamaan tersebut tidak diiringi dengan menurunnya intensitas pemberitaan media akan maraknya kedzaliman sosial, misalnya pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan berbagai aksi kekerasan lainnya. Berbagai kedzaliman sosial ini begitu mewarnai kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga mengakibatkan mereka memilih menjauh dari hiruk-pikuk keduniaan.

Islam Transformatif 

Dalam pemahaman yang lebih menyeluruh, puasa harus mampu diartikan sebagai spirit profetik, yang berakar pada misi ideologisnya yakni cita-cita untuk menegakkan amr ma’ruf nahi munkar. Cita-cita tersebut memuat nilai humanisasi, emansipasi, liberasi, dan transendensi yang akan selalu memotivasi gerakan transformasi sosial (Kuntowijoyo: 1991).  

Kuntowijoyo menerjemahkan semangat Islam profetik ke dalam tiga hal; moderasi, liberasi, dan transendensi. Moderasi adalah menempatkan agama sebagai pilar kehidupan, menjadi pedoman hidup manusia untuk melakukan kerja-kerja sosial. Serta islam menjadi ruh setiap manusia untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Pada titik inilah keberadaan agama tidak lagi hanya sebatas seperangkat identitas simbolik melainkan menjadi pencerah bagi misi kedamaian alam semesta.

Sedangkan liberasi adalah memposisikan agama sebagai pembawa misi pembebasan terhadap berbagai kedzaliman sosial. Islam yang selama ini dipahami sebagai rahmatan lil-alamin mempunyai tanggungjawab sosial guna melepas belenggu ketertindasan, ketidakadilan, dan berbagai diskriminasi sosial lainnya. 

Pada masa Nabi Muhammad Saw, kekuatan agama mampu mendobrak tatanan kekuasaan yang tiranik-despotik, subordinasi terhadap hak-hak  perempuan, dan berbagai prilaku amoral lainnya. Sementara, semangat transendensi adalah relasi manusia dengan Tuhan-Nya, menempatkan keberadaan Allah Swt sebagai pengatur dan pencipta segalanya, yang kemudian ditransformasikan kepada makhluk ciptaan-Nya, yaitu manusia supaya menjaga dan menjadi khalifah di bumi. 

Sejujurnya, semangat Islam transformatif telah banyak diulas oleh para pemikir kajian keagamaan. Namun, upaya untuk membumikan konsep tersebut dalam ruang lingkup kehidupan sampai saat ini belum banyak terrealisasi. 

Pada posisi inilah kiranya perlu mencermati ulang makna puasa tersebut. Apakah puasa yang kita jalani selama sebulan akan menghadirkan semangat transformatif yang menginisiasi hilangnya ketimpangan antara yang miskin dan yang kaya ataukah malah hanya akan mendapatkan rasa lapar dan dahaga sebagaimana yang diperingatkan oleh Rasulullah Saw “Sekian banyak orang menjalankan puasa, akan tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga”. 

Momentum puasa bisa dijadikan sebagai kesempatan tepat untuk menunaikan tanggungjawab sosial. Sebab, agama tanpa tanggungjawab sosial akan menjadi gersang dan juga hanya akan menjadi sebatas penghambaan saja. Nilai-nilai dari amal puasa seseorang terasa belum sempurna jika ditunaikan hanya dengan menguatkan hubungan transendensi antara makhluk dengan Tuhan-Nya saja. Akan tetapi harus mengaitkan juga nilai-nilai moderasi dan humanisasi supaya visi keberagamaan dapat dikerjakan secara sempurna pula.    

Berawal dari momentum puasa ini kiranya dapat membuka rasa kesadaran manusia akan tujuan utama manusia sebagai makhluk sosial, yakni memiliki jiwa kepedulian terhadap realitas sekitar. Masihkah ada di sekeliling kita kaum mustad’afin yang belum merasakan indahnya puasa atau masihkah tuli para pemimpin kita untuk memperjuangkan hak-hak kaum miskin.

Sebab, menurut Kuntowijoyo salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Maka dengan momentum puasa kali ini kiranya dapat membibitkan semangat beragama yang progresif menuju peradaban yang utama. Karena islam hadir tidak sebatas seperangkat agama melainkan peradaban yang sempurna (Islam is not only religion, it is a complate civilization).

Nafik Muthohirin | Dosen FAI-UMM; Direktur Program RBC Institute A. Malik Fadjar

Tags
SHARE