SHARE

Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam

CARAPANDANG -  Pemerintah  harus siaga dalam mencermati tren inflasi nasional. Jika terus naik maka bisa  menekan daya beli masyarakat yang ekonominya belum pulih dari dampak pandemi Covid-19. 

Demikian disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam dalam siaran persnya di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/5). 

Menurutnya  Kementerian Perdagangan harus menjalankan kebijakan pengaturan penyediaan barang dengan baik, dengan treatment yang pas untuk mengantisipasi harga yang semakin melonjak agar tidak membebani rakyat.

"Jangan sampai tak optimalnya pengelolaan kebijakan minyak goreng terulang lagi," kata Mufti. 

Anam menjelasakan berdasarkan data BPS inflasi April 2022 sebesar 3,47 persen, jika dibandingkan dengan April 2021 inflasi tahunan ini tercatat yang tertinggi sejak Agustus 2019. Secara bulanan, inflasi April 2022 sebesar 0,95 persen, angka tertinggi sejak Januari 2017.

"Kami beberapa waktu lalu sudah mengingatkan bahwa Ramadhan dan Lebaran 2022 menjadi ujian bagaimana pemerintah mengelola inflasi, sebab, pada periode Ramadhan dan Lebaran tahun lalu, situasi ekonomi jauh berbeda dibanding 2022," katanya.

Dia pun telah mencatat, bahwa inflasi pada Ramadhan 2021 (April 2021) cukup rendah yaitu 0,13 persen. Sedangkan inflasi pada saat Lebaran 2021 (Mei 2021) sebesar 0,32 persen. Namun, pada Maret 2022 sudah menembus 0,66 persen, dan naik lagi pada April 2022 sebesar 0,95 persen.

"Fluktuasi harga ini ada sebabnya, sehingga seharusnya bisa menjadi alat prediksi. Tugas Kemendag yakni memastikan suplai berjalan optimal sehingga meminimalisasi potensi gejolak harga," katanya.

Ia mengakui, Kemendag lamban dalam merespons dinamika tersebut, sehingga kebijakan atau treatment baru terbit ketika harga sudah melambung. "Masalahnya, kebijakan itu pun tidak terkontrol dengan baik, sehingga gejolak berlarut-larut seperti dalam kasus minyak goreng," kata Mufti.

Oleh karena itu, Mufti meminta pemerintah, khususnya Kemendag, untuk belajar dari kasus minyak goreng, di mana berbagai aturan ternyata tidak berdampak di lapangan karena lemahnya pengawasan dan kurang mampunya Kemendag dalam melakukan orkestrasi kebijakan.

“Negara harus lebih kuat dengan membangun komunikasi stakeholder yang baik. Ketika ada gejolak harga, panggil. Negara berhak dong panggil pelaku usaha. Ada juga diatur di UU Perdagangan, ketika gejolak harga, pemerintah lakukan stabilisasi termasuk dengan menerapkan kebijakan-kebijakan tertentu bagi pelaku usaha," demikian Anam. 

Tags
SHARE