SHARE

Ilustrasi (Net)

CARAPANDANG.COM -  Kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan telinga  dan upaya dalam mencegah gangguan pendengaran dinilai  masih kurang. Padahal ini sangat penting untuk diperhatikan kerana  gangguan pendengaran merupakan penyebab tertinggi disabilitas secara global dan dampak yang ditimbulkan mengganggu kognitif, psikologi, dan sosial seseorang.

Demikian disampaikan Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu  dalam webinar peringatan Hari Pendengaran Sedunia yang dipantau dari Jakarta, Selasa (2/3).

Maka itu, kesehatan pendengaran harus dilakukan secara inklusi mulai dari hulu sampai hilir.  "Deteksi dini merupakan komponen penting agar pencegahan gangguan pendengaran bisa dikenali sejak dini dan ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat," imbuhnya. 

Berdasarkan data dari badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2018, sekitar 466 juta atau 6,1 persen orang di dunia mengalami gangguan pendengaran. Kelompok dewasa menjadi penyumbang angka terbesar yang mencapai 432 juta atau 93 persen sementara sisanya dialami oleh anak-anak sekitar 34 juta orang.

Apabila tidak segera ditangani, WHO memprediksi pada tahun 2030 memperkirakan sebanyak 630 juta orang telah mengalami gangguan pendengaran dan hingga tahun 2050 angka tersebut dapat meningkat hingga lebih dari 900 juta orang.

"WHO memperkirakan dampak ekonomi akibat gangguan ekonomi dan ketulian itu mencapai kurang lebih 750 miliar dolar AS per tahun," katanya.

Adapun Indonesia masuk dalam salah satu negara yang tingkat gangguan pendengarannya tinggi selain Sri Lanka, Myanmar, dan India. Hasil Riskesdas Kemenkes tahun 2013 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas 2,6 persen-nya mengalami gangguan pendengaran, 0,09 persen mengalami ketulian, 18,8 persen ada sumbatan serumen, dan 2,4 persen ada sekret di liang telinga.

Tags
SHARE