SHARE

Didik Nini Thowok (Hani White)

CARAPANDANG.COM – Didik Nini Thowok, sosok ini telah puluhan tahun melanglang buana berkarya di seni tari. Belajar tari sejak umur 12 tahun, sosok bernama asli Didik Hadiprayitno ini begitu totalitas dalam seni pertunjukan hingga kini di umurnya yang telah menginjak 63 tahun.

Sosok kelahiran 13 November 1954 ini berpandangan bahwa seni sebaiknya diajarkan dengan benar di sekolah. Karena dengan senilah otak kanan dan otak kiri dari seseorang dapat teroptimalisasi secara baik. Pelajaran seni di sekolah juga bermuara pada terbentuknya lingkungan yang cinta seni. “Bisa appreciate terhadap seni. Kesenian ini kan butuh lingkungan pendukungnya juga. Buat pertunjukan, nggak ada yang nonton bagaimana?” ujarnya.



Kamis, 22 Februari 2018, Didik Nini Thowok berkesempatan menjamu redaksi Cara Pandang di kantornya yang terletak di Perumahan Jatimulyo Baru Blok G.13-14, Yogyakarta. Tak sekadar wawancara, kami pun berkesempatan melihat “harta karun budaya”, mulai dari busana tari dwimuka yang dibuat tahun 1987 di rumah WS Rendra, ragam foto dari kunjungan ke pelosok Indonesia dan mancanegara, hingga koleksi wayang yang dimilikinya.

Digitalisasi koleksi yang dilakukannya agar “harta karun budaya” itu dapat menjadi pembelajaran, sejarah, dan potensi masa depan. Melongok koleksi “harta karun budaya” tersebut tak berlebihan jika dikatakan Indonesia bisa menjadi negara super power budaya.



Bagaimana Anda melihat kontes-kontes idol yang menyertakan seni tari?

Itu salah satu usaha untuk mengenalkan seni-seni tradisi di masyarakat. Itu usaha yang bagus juga, perlu di-appreciate. Cuma sekarang dari pendidikan kan penting. Misalnya program kesenian masuk ke sekolahan. Tapi kebanyakan masyarakat berpikir kalau dia jadi kesenian, “Masa mau mencetak seniman semua”, itu kan pikiran goblok. Seni itu kan menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Saya mendidik anak menari itu bukan jadi penari semua. Kenyataannya nggak begitu. Hanya memberikan bekal kepada mereka untuk mengenal seni.



Itu kan yang tadi disebut menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri, itu kan. Ada juga orang yang goblok itu kan “Oh mau dididik jadi seniman semua”. Orang goblok dan pekok kan gitu ngomongnya. Dia nggak bisa berpikir bijak dan nggak smart, kasihan aja. Mendidik seni itu sebenarnya memberikan sentuhan seni. Nanti tidak semuanya jadi seniman kan. Tapi mereka misalnya menjadi sosok dokter yang punya sentuhan seni. Bisa appreciate terhadap seni. Kesenian ini kan butuh lingkungan pendukungnya juga. Buat pertunjukan, nggak ada yang nonton bagaimana? Kan lucu. Sebenarnya pendidikan seni di sekolah itu sangat penting. Itu benar-benar harus jadi kurikulum.

Saya pernah ngajar di sekolah internasional, setiap mereka mau naik grade mesti perform 1 kelas. Yang tidak bisa menari, mungkin jadi background. Semua terlibat. Itu kan edukasi yang bagus. Secara nggak langsung itu mendidik. 1 kelas akan mempelajari cerita rakyat. Karena kalau semua terlibat, maka mereka harus tahu ceritanya. Mereka belajar secara nggak langsung. Mereka pakai kostum, jadi belajar pakai kostum. Itu tujuannya bukan untuk menjadikannya semua seniman. Tapi itu nanti mereka punya bekal edukasi yang bagus.



Seberapa penting digitalisasi koleksi dan rencana Anda untuk membuat house of collection?

Itu dari hobi saya sendiri. Saya dari tahun 74 kuliah di ASTI Yogyakarta saya paling suka mendokumentasikan atau menyimpan berita-berita kliping. Kalau lihat koleksi kliping saya sudah banyak. Saya rajin untuk itu. Katanya tidak dilakukan oleh banyak seniman. Nah saya kebetulan punya. Dokumentasi itu dari foto, foto itu saya cetak. Darimana-darimana perjalanan saya dari seluruh Indonesia, luar negeri. Itu semua foto-foto saya. Berapa banyak saya tidak tahu. Dan saya suka mendokumentasikan. Sekarang saya baru merasakan manfaatnya. Kalau ada interview, penelitian, saya tinggal cari di dokumen yang saya punya. Kenangan-kenangan lama. Saya ada semua. Buat saya penting, kan sejarah ya yang nantinya bisa bermanfaat untuk generasi selanjutnya.



Dokumentasi itu penting untuk merekam seni tari tradisional?

Iya kalau tarian itu masih bisa kita saksikan. Kan banyak juga tari tradisi yang sudah punah karena tidak ada penerusnya. Kalau kita punya dokumennya kan bisa belajar. Untuk para peneliti kan historis, sejarah, merupakan sejarah yang sangat penting suatu saat. Oh ternyata Indonesia zaman dulu tahun sekian punya bentuk kesenian bentuknya ini, filosofinya ini, dari daerah ini, kan ada datanya. Kan menarik. Kalau nggak ada datanya gimana.



Banyak yang sekadar mengukur pencapaian maju secara ekonomi, politik. Padahal Indonesia bisa jadi negara super power budaya. Bagaimana menurut Anda?

Sebenarnya bisa. Yang penting manajemen. Kalau ada orang yang manajemennya ahli dalam seni budaya lho, bukan hanya jualan tok. Banyak EO, EO, banyak investor-investor, banyak orang yang katanya peduli terhadap seni, mau jualan aja. Hanya untuk kantongnya sendiri. banyak itu. Saya alami sendiri soalnya. Jadi mereka hanya lips service saja untuk mengajak senimannya bisa dibohongi untuk tujuan-tujuan tertentu. Seniman kan gampang banget dibohongi, termasuk saya.